Senin, 17 Maret 2014

Jokowi; Sebuah Ironi




Tidak ada setting-an yang tidak di setting.
          "Dengan mengucap bismillah, saya siap melaksanakan," kata Jokowi, sekitar pukul 14.49 WIB. Kompas.com Jumat, 14 Maret 2014 | 14:53 WIB. Hanya butuh waktu kurang dari empat menit berita itu tersebar seantero nusantara. Diikuti dengan mencium bendera merah putih yang entah dengan sengaja atau tidak dipersiapkan terlebih dahulu. Termasuk agenda pak Jokowi “mendeklarasikan diri” yang diatur hari itu sengaja di Rumah Pitung, pahlawan Betawi di Marunda, Jakarta Utara. Mungkin pak Jokowi ingin mengirimkan pesan, “Saya ini pembela kaum lemah, berani, rendah hati, dan akan dikenang seperti si Pitung”. Jika anda menganggap saya mengada-ada, skeptis, dan sinis terhadap pencalonan pak Jokowi. Tak apa, tapi ingat, ini tahun politik. Politik sama dengan pencitraan, dan pencitraan sama dengan strategi. Jadi, tak ada salahnya juga kalau pak Jokowi dan tim sengaja me-setting tempat. Seolah-olah hari dan tempat itu sudah ditakdirkan.
  
         
Lurus penyelimut bantahan.                          
Teringat dahulu, entah saya salah dengar atau tidak mengerti sama maksud pak Jokowi saat itu. Kalau tidak salah, dirumah bu Mega, saya tonton dari televisi jumpa pers yang diadakan sebelum pilkada Gubernur DKI Jakarta. “Katanya saya tidak ingin menyelesaikan lima tahun. Diisukan begitu, untuk apa? Itu biar masyarakat ragu. Oleh sebab itu, dalam gerakan ini saya sampaikan, Jokowi dan Basuki komit untuk memperbaiki DKI dalam lima tahun," seru Jokowi, kala masa kampanye Pilgub Jakarta. Salah satu portal berita me-review perkataannya kembali. Saya berfikir, mungkin pak Jokowi lupa berucap seperti itu. Sayangnya setelah dikonfirmasi media, entah lupa, pura-pura lupa, atau benar-benar lupa serentak dilakukan pak Jokowi dan timnya. Tentu dengan dalil-dalil yang mereka miliki. “Kami tidak ingin membantah, tapi kami ingin meluruskan pernyataan waktu itu, bahwa.... bla... bla... bla...” isi sendiri dalil pembenarannya.
           

Pemimpin rendah hati itu sudah berubah menjadi tamak.
Dari kata tak mungkin, ah masa, yang bener, mungkin pak Jokowi khilaf sampai pada akhirnya saya menyimpulkan sang pemimpin itu sudah berubah menjadi tamak. Tak ada lagi pemimpin yang rendah hati itu. Pemimpin yang dapat dipercaya itu. Pemimpin yang komitmen akan janji-janjinya. Mungkin ia dulu komitmen dan amanah saat menjadi pemimpin Solo, tapi semenjak ia mempunyai tugas menyambut Presiden setiap kali bertolak dan tiba dari luar negeri di bandara Halim atas konsekuensinya menjadi gubernur ibu kota negara. Saya pikir mungkin pak Jokowi pun ingin diperlakukan seperti itu, dan saat inilah kesempatannya. Dengan alasan akan mengabdi penuh pada Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ia konkritkan dengan tindakan mencium bendera merah putih yang kebetulan sekali merah menyala dan putih bersih (karena biasanya bendera pajangan di museum atau rumah bersejarah milik pemerintah Jakarta kusam dan kumal). Ia siap menjadi calon presiden untuk bangsa Indonesia tercinta. Tapi bagi saya, dia bukan pak Jokowi yang dulu lagi.


Jokowi; PNS Sejati?
            "Saya telah mendapatkan mandat dari Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri untuk menjadi capres dari PDI Perjuangan," kata Jokowi saat melakukan blusukan di Rumah Pitung di Marunda, Jakarta Utara, Jumat (14/3/2014). Sebenarnya ini bukan pertama kali pak Jokowi selalu memberikan pernyataan serupa. Misal, terserah bu Mega, saya ikut instruksi partai, tanya sama DPP, dan lain-lain ke arah sana. Saya bingung, pak Jokowi ini bekerja untuk rakyat atau partai? Hemat saya seharusnya pak Jokowi tidak menjadi politisi, tapi paling tepat ialah menjadi Pegawai Negeri Sipil, yang selalu siap menerima perintah atasan, mengabdi penuh pada negara, dan mengikuti kenyataan hidup itu harus sederhana. Sekarang, PNS malah banyak setengah mengabdi pada negara, tidak mau ikut perintah atasan, dan merubah kenyataan yang sebenarnya bahwa hidup tidak boleh se-sederhana itu. Duh, dunia memang sudah kebalik-balik.


 Jokowi; sebuah ironi
Pak Jokowi mungkin benar, ratusan juta orang diluar DKI Jakarta lebih membutuhkannya, walaupun menurut saya perasaan dia saja. Namun kalau begitu, kenapa tidak dari dahulu saja dia mengatakan akan maju sebagai calon Presiden RI 2014. Toh media darling yang dia dapat juga sudah ada semenjak akhir kepemimpinannya di daerah Solo dan tak ada yang melarang toh seorang bupati atau mantan bupati jadi calon Presiden. Artinya apa, ia memanfaatkan popularitasnya sebagai gubernur DKI Jakarta untuk batu loncatan menuju RI 1.
Sekali lagi, jangan anggap saya skeptis karena ini fakta. Saya bukan orang berseragam dengan warna tertentu ditambah logo disebelah kanan atas.  Saya cuma seorang pemuda yang sedih melihat negeri ini. Walaupun saya biasa-biasa saja sebenarnya atas pencalonan pak Jokowi sebagai capres 2014 karena sah-sah saja setiap orang memajukan dirinya. Soal janji yang pernah ia utarakan, itu kan janji, kalau ditepati ya syukur, belum tentu menang juga, yang penting maju aja. Toh “insya Allah” di negeri kita harganya begitu remeh di mulut.
Yang terpenting kita harus ingat definisi partai politik menurut Carl J. Friedrick bahwa “Partai politik adalah sekelompok manusia yang terorganisasi dengan tujuan merebut atau mempertahankan kekuasaan pemerintahan”. Jadi tak ada salahnya pak Jokowi yang notabene kader partai ingin merebut kekuasaan di pertarungan pemilihan umum kali ini. Tapi satu kesimpulan yang saya dapatkan dan saya bisa belajar dari peristiwa politik ini bahwa amanah, janji, dan komitmen yang ia langgar cukup menjadikan kita dapat belajar lebih banyak mengenai seorang calon pemimpin bernama Joko Widodo. Semoga Tuhan, Allah SWT merahmati negeri ini, Amin.

Jakarta, 17 Maret 2014

Jokowi; Sebuah Ironi