Tidak ada setting-an yang tidak di setting.
"Dengan
mengucap bismillah, saya siap melaksanakan," kata Jokowi, sekitar pukul
14.49 WIB. Kompas.com Jumat, 14 Maret 2014 | 14:53 WIB. Hanya butuh waktu
kurang dari empat menit berita itu tersebar seantero nusantara. Diikuti dengan
mencium bendera merah putih yang entah dengan sengaja atau tidak dipersiapkan
terlebih dahulu. Termasuk agenda pak Jokowi “mendeklarasikan diri” yang diatur hari
itu sengaja di Rumah Pitung, pahlawan Betawi di Marunda, Jakarta Utara. Mungkin
pak Jokowi ingin mengirimkan pesan, “Saya ini pembela kaum lemah, berani,
rendah hati, dan akan dikenang seperti si Pitung”. Jika anda menganggap saya
mengada-ada, skeptis, dan sinis terhadap pencalonan pak Jokowi. Tak apa, tapi
ingat, ini tahun politik. Politik sama dengan pencitraan, dan pencitraan sama
dengan strategi. Jadi, tak ada salahnya juga kalau pak Jokowi dan tim sengaja
me-setting tempat. Seolah-olah hari
dan tempat itu sudah ditakdirkan.
Lurus penyelimut bantahan.
Teringat
dahulu, entah saya salah dengar atau tidak mengerti sama maksud pak Jokowi saat
itu. Kalau tidak salah, dirumah bu Mega, saya tonton dari televisi jumpa pers yang
diadakan sebelum pilkada Gubernur DKI Jakarta. “Katanya saya tidak ingin
menyelesaikan lima tahun. Diisukan begitu, untuk apa? Itu biar masyarakat ragu.
Oleh sebab itu, dalam gerakan ini saya sampaikan, Jokowi dan Basuki komit untuk
memperbaiki DKI dalam lima tahun," seru Jokowi, kala masa kampanye Pilgub
Jakarta. Salah satu portal berita me-review
perkataannya kembali. Saya berfikir, mungkin pak Jokowi lupa berucap seperti
itu. Sayangnya setelah dikonfirmasi media, entah lupa, pura-pura lupa, atau benar-benar
lupa serentak dilakukan pak Jokowi dan timnya. Tentu dengan dalil-dalil yang
mereka miliki. “Kami tidak ingin membantah, tapi kami ingin meluruskan
pernyataan waktu itu, bahwa.... bla... bla... bla...” isi sendiri dalil
pembenarannya.
Pemimpin rendah hati itu sudah
berubah menjadi tamak.
Dari
kata tak mungkin, ah masa, yang bener, mungkin pak Jokowi khilaf sampai pada
akhirnya saya menyimpulkan sang pemimpin itu sudah berubah menjadi tamak. Tak
ada lagi pemimpin yang rendah hati itu. Pemimpin yang dapat dipercaya itu.
Pemimpin yang komitmen akan janji-janjinya. Mungkin ia dulu komitmen dan amanah
saat menjadi pemimpin Solo, tapi semenjak ia mempunyai tugas menyambut Presiden
setiap kali bertolak dan tiba dari luar negeri di bandara Halim atas konsekuensinya
menjadi gubernur ibu kota negara. Saya pikir mungkin pak Jokowi pun ingin
diperlakukan seperti itu, dan saat inilah kesempatannya. Dengan alasan akan mengabdi
penuh pada Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ia konkritkan dengan
tindakan mencium bendera merah putih yang kebetulan sekali merah menyala dan
putih bersih (karena biasanya bendera pajangan di museum atau rumah bersejarah
milik pemerintah Jakarta kusam dan kumal). Ia siap menjadi calon presiden untuk
bangsa Indonesia tercinta. Tapi bagi saya, dia bukan pak Jokowi yang dulu lagi.
Jokowi; PNS Sejati?
"Saya telah mendapatkan mandat
dari Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri untuk menjadi capres dari
PDI Perjuangan," kata Jokowi saat melakukan blusukan di Rumah Pitung di
Marunda, Jakarta Utara, Jumat (14/3/2014). Sebenarnya ini bukan pertama kali
pak Jokowi selalu memberikan pernyataan serupa. Misal, terserah bu Mega, saya
ikut instruksi partai, tanya sama DPP, dan lain-lain ke arah sana. Saya
bingung, pak Jokowi ini bekerja untuk rakyat atau partai? Hemat saya seharusnya
pak Jokowi tidak menjadi politisi, tapi paling tepat ialah menjadi Pegawai
Negeri Sipil, yang selalu siap menerima perintah atasan, mengabdi penuh pada
negara, dan mengikuti kenyataan hidup itu harus sederhana. Sekarang, PNS malah
banyak setengah mengabdi pada negara, tidak mau ikut perintah atasan, dan
merubah kenyataan yang sebenarnya bahwa hidup tidak boleh se-sederhana itu.
Duh, dunia memang sudah kebalik-balik.
Jokowi; sebuah ironi
Pak
Jokowi mungkin benar, ratusan juta orang diluar DKI Jakarta lebih
membutuhkannya, walaupun menurut saya perasaan dia saja. Namun kalau begitu,
kenapa tidak dari dahulu saja dia mengatakan akan maju sebagai calon Presiden
RI 2014. Toh media darling yang dia
dapat juga sudah ada semenjak akhir kepemimpinannya di daerah Solo dan tak ada
yang melarang toh seorang bupati atau mantan bupati jadi calon Presiden.
Artinya apa, ia memanfaatkan popularitasnya sebagai gubernur DKI Jakarta untuk
batu loncatan menuju RI 1.
Sekali
lagi, jangan anggap saya skeptis karena ini fakta. Saya bukan orang berseragam
dengan warna tertentu ditambah logo disebelah kanan atas. Saya cuma seorang pemuda yang sedih melihat
negeri ini. Walaupun saya biasa-biasa saja sebenarnya atas pencalonan pak
Jokowi sebagai capres 2014 karena sah-sah saja setiap orang memajukan dirinya.
Soal janji yang pernah ia utarakan, itu kan janji, kalau ditepati ya syukur,
belum tentu menang juga, yang penting maju aja. Toh “insya Allah” di negeri
kita harganya begitu remeh di mulut.
Yang
terpenting kita harus ingat definisi partai politik menurut Carl J. Friedrick bahwa “Partai politik
adalah sekelompok manusia yang terorganisasi dengan tujuan merebut atau
mempertahankan kekuasaan pemerintahan”. Jadi tak ada salahnya pak Jokowi yang
notabene kader partai ingin merebut kekuasaan di pertarungan pemilihan umum
kali ini. Tapi satu kesimpulan yang saya dapatkan dan saya bisa belajar dari
peristiwa politik ini bahwa amanah, janji, dan komitmen yang ia langgar cukup
menjadikan kita dapat belajar lebih banyak mengenai seorang calon pemimpin
bernama Joko Widodo. Semoga Tuhan, Allah SWT merahmati negeri ini, Amin.
Jakarta, 17 Maret 2014
Jokowi; Sebuah Ironi