Kamis, 12 Juni 2014

Pagi


Pagi

Jalanan Jakarta, lengang, pukul 05.12 WIB

Pagi, sesejuk kala engkau tahu Tuhanmu menjaga dan merawat mu dengan baik.
Seindah Rasulmu mengajari mu dengan kata-kata lembut bak embun dibawah gunung Malintang.

Pagi, memberikan bukti bukan janji, bahwa Jakarta kota yang layak.
Transportasi datang dengan tepat waktunya, melaju kencang dengan percaya diri, memastikan setiap orang mendapat tempat kursinya, dan yang pasti ACnya benar-benar AC.
Sehingga memberikan kenyamanan fisik dan psikis bagi penggunanya.
Seolah berkata, kami sudah profesional!

Pagi, membuat kota Jakarta menjadi kota yang layak.
Tak ada asap, tak ada sampah, termasuk tak ada lautan manusia yang seperti sampah...
Orang bisa duduk dengan tenangnya di halte bus dan takut ketiduran karena cepatnya bus melaju.
Kalau bukan pagi, orang juga takut, takut tertidur lalu mati karena kehabisan oksigen di dalam bus dan kereta.

Pagi, semuanya lancar.
Ambulance melaju dengan kencang dan siap menyelamatkan nyawa pasien.
Kalau bukan pagi, ambulance pun siap, siap mengantarkan nyawa pasien di tengah klakson mobil-mobil yang semerawut di perempatan jalan.

Pagi, semua orang menunjukkan muka tiada beban, tiada gelisah, tiada amarah.

Pagi, kulihat sekelompok ibu pergi mengaji, seorang pemuda pergi berlari, dan wajah satu keluarga penuh berseri.

Pagi, terimakasih telah datang kembali.


Cawang, Minggu 8 Juni 2014


Senin, 17 Maret 2014

Jokowi; Sebuah Ironi




Tidak ada setting-an yang tidak di setting.
          "Dengan mengucap bismillah, saya siap melaksanakan," kata Jokowi, sekitar pukul 14.49 WIB. Kompas.com Jumat, 14 Maret 2014 | 14:53 WIB. Hanya butuh waktu kurang dari empat menit berita itu tersebar seantero nusantara. Diikuti dengan mencium bendera merah putih yang entah dengan sengaja atau tidak dipersiapkan terlebih dahulu. Termasuk agenda pak Jokowi “mendeklarasikan diri” yang diatur hari itu sengaja di Rumah Pitung, pahlawan Betawi di Marunda, Jakarta Utara. Mungkin pak Jokowi ingin mengirimkan pesan, “Saya ini pembela kaum lemah, berani, rendah hati, dan akan dikenang seperti si Pitung”. Jika anda menganggap saya mengada-ada, skeptis, dan sinis terhadap pencalonan pak Jokowi. Tak apa, tapi ingat, ini tahun politik. Politik sama dengan pencitraan, dan pencitraan sama dengan strategi. Jadi, tak ada salahnya juga kalau pak Jokowi dan tim sengaja me-setting tempat. Seolah-olah hari dan tempat itu sudah ditakdirkan.
  
         
Lurus penyelimut bantahan.                          
Teringat dahulu, entah saya salah dengar atau tidak mengerti sama maksud pak Jokowi saat itu. Kalau tidak salah, dirumah bu Mega, saya tonton dari televisi jumpa pers yang diadakan sebelum pilkada Gubernur DKI Jakarta. “Katanya saya tidak ingin menyelesaikan lima tahun. Diisukan begitu, untuk apa? Itu biar masyarakat ragu. Oleh sebab itu, dalam gerakan ini saya sampaikan, Jokowi dan Basuki komit untuk memperbaiki DKI dalam lima tahun," seru Jokowi, kala masa kampanye Pilgub Jakarta. Salah satu portal berita me-review perkataannya kembali. Saya berfikir, mungkin pak Jokowi lupa berucap seperti itu. Sayangnya setelah dikonfirmasi media, entah lupa, pura-pura lupa, atau benar-benar lupa serentak dilakukan pak Jokowi dan timnya. Tentu dengan dalil-dalil yang mereka miliki. “Kami tidak ingin membantah, tapi kami ingin meluruskan pernyataan waktu itu, bahwa.... bla... bla... bla...” isi sendiri dalil pembenarannya.
           

Pemimpin rendah hati itu sudah berubah menjadi tamak.
Dari kata tak mungkin, ah masa, yang bener, mungkin pak Jokowi khilaf sampai pada akhirnya saya menyimpulkan sang pemimpin itu sudah berubah menjadi tamak. Tak ada lagi pemimpin yang rendah hati itu. Pemimpin yang dapat dipercaya itu. Pemimpin yang komitmen akan janji-janjinya. Mungkin ia dulu komitmen dan amanah saat menjadi pemimpin Solo, tapi semenjak ia mempunyai tugas menyambut Presiden setiap kali bertolak dan tiba dari luar negeri di bandara Halim atas konsekuensinya menjadi gubernur ibu kota negara. Saya pikir mungkin pak Jokowi pun ingin diperlakukan seperti itu, dan saat inilah kesempatannya. Dengan alasan akan mengabdi penuh pada Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ia konkritkan dengan tindakan mencium bendera merah putih yang kebetulan sekali merah menyala dan putih bersih (karena biasanya bendera pajangan di museum atau rumah bersejarah milik pemerintah Jakarta kusam dan kumal). Ia siap menjadi calon presiden untuk bangsa Indonesia tercinta. Tapi bagi saya, dia bukan pak Jokowi yang dulu lagi.


Jokowi; PNS Sejati?
            "Saya telah mendapatkan mandat dari Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri untuk menjadi capres dari PDI Perjuangan," kata Jokowi saat melakukan blusukan di Rumah Pitung di Marunda, Jakarta Utara, Jumat (14/3/2014). Sebenarnya ini bukan pertama kali pak Jokowi selalu memberikan pernyataan serupa. Misal, terserah bu Mega, saya ikut instruksi partai, tanya sama DPP, dan lain-lain ke arah sana. Saya bingung, pak Jokowi ini bekerja untuk rakyat atau partai? Hemat saya seharusnya pak Jokowi tidak menjadi politisi, tapi paling tepat ialah menjadi Pegawai Negeri Sipil, yang selalu siap menerima perintah atasan, mengabdi penuh pada negara, dan mengikuti kenyataan hidup itu harus sederhana. Sekarang, PNS malah banyak setengah mengabdi pada negara, tidak mau ikut perintah atasan, dan merubah kenyataan yang sebenarnya bahwa hidup tidak boleh se-sederhana itu. Duh, dunia memang sudah kebalik-balik.


 Jokowi; sebuah ironi
Pak Jokowi mungkin benar, ratusan juta orang diluar DKI Jakarta lebih membutuhkannya, walaupun menurut saya perasaan dia saja. Namun kalau begitu, kenapa tidak dari dahulu saja dia mengatakan akan maju sebagai calon Presiden RI 2014. Toh media darling yang dia dapat juga sudah ada semenjak akhir kepemimpinannya di daerah Solo dan tak ada yang melarang toh seorang bupati atau mantan bupati jadi calon Presiden. Artinya apa, ia memanfaatkan popularitasnya sebagai gubernur DKI Jakarta untuk batu loncatan menuju RI 1.
Sekali lagi, jangan anggap saya skeptis karena ini fakta. Saya bukan orang berseragam dengan warna tertentu ditambah logo disebelah kanan atas.  Saya cuma seorang pemuda yang sedih melihat negeri ini. Walaupun saya biasa-biasa saja sebenarnya atas pencalonan pak Jokowi sebagai capres 2014 karena sah-sah saja setiap orang memajukan dirinya. Soal janji yang pernah ia utarakan, itu kan janji, kalau ditepati ya syukur, belum tentu menang juga, yang penting maju aja. Toh “insya Allah” di negeri kita harganya begitu remeh di mulut.
Yang terpenting kita harus ingat definisi partai politik menurut Carl J. Friedrick bahwa “Partai politik adalah sekelompok manusia yang terorganisasi dengan tujuan merebut atau mempertahankan kekuasaan pemerintahan”. Jadi tak ada salahnya pak Jokowi yang notabene kader partai ingin merebut kekuasaan di pertarungan pemilihan umum kali ini. Tapi satu kesimpulan yang saya dapatkan dan saya bisa belajar dari peristiwa politik ini bahwa amanah, janji, dan komitmen yang ia langgar cukup menjadikan kita dapat belajar lebih banyak mengenai seorang calon pemimpin bernama Joko Widodo. Semoga Tuhan, Allah SWT merahmati negeri ini, Amin.

Jakarta, 17 Maret 2014

Jokowi; Sebuah Ironi

Jumat, 28 Februari 2014

Kepala Dua, Sebuah Refleksi Diri



Alhamdulillah, segala puji bagi Tuhan Semesta Alam, Allah Subhana wa ta’ala atas segala rahmatnya, atas setiap tetes darah yang mengalir dalam tubuh ini, atas setiap tarikan nafas yang di izinkan-Nya, atas setiap gerak yang tangan ini, kaki ini, badan ini lakukan, yang aku tahu Demi Allah ini akan dimintakan pertanggungjawabannya kelak.

Terimakasih ya Allah aku haturkan kepada-Mu atas segala nikmat yang Engkau berikan padaku. Entah berapa banyak itu, yang aku tahu sudah terlalu banyak aku mengingkari nikmat-Mu. Sudang terlalu sering aku menganggap bahwa itu karena murni kemampuanku, kadang aku lupa, aku ini siapa.

Hari ini, tepat dua puluh tahun umurku, cukup sebenarnya untuk belajar siapa aku, dimana aku, dan mau kemana aku. Tapi selalu gagal, kesombongan diri ini membuat pertanyaan itu sudah berhasil dijawab tapi sebatas teori. Pada praktiknya aku lebih banyak lupa akan siapa diri ku, dimana aku, dan mau kemana aku. Kadang aku malu. Malu, untuk mengadu pada Rabbku ketika aku tertimpa masalah, aku malu akan dosa-dosaku. Dosa yang pasti bagai lautan. Bayangkan dua puluh tahun.

Kepala dua, biasanya sebutan untuk ketika menginjak usia kelipatan sepuluh  yang ke dua. Artinya, sudah tua. Simpel kan. Aku teringat, sangat jelas dalam pikiran ku, pertama kali aku menginjak usia sepuluh tahun. Aku bangga sekali disebut kepala satu. Sekarang sudang kepala dua. Kalian tahu? Rasanya hanya seperti mengedipkan bola mata. Sekejap, lalu umurku sudah jauh berubah.

Sudah banyak yang aku lalui, walau tak sebanyak asam garam orang yang kepala tiga dan seterusnya. Tapi sudah cukup lumayan aku melihat dunia ini. Bagaimana sistemnya, cara kerja orang-orang dalam bertahan hidup, mana yang baik mana yang buruk, bahkan sedikit-sedikit aku kadang sudah bisa menebak bagaimana kepribadiaan seseorang ketika aku mulai bersosialisasi dengannya. Mana orang baik dan mana orang buruk. Menginjak kepala dua ini, ku mulai pintar-pintar memilih teman.

Inilah hidup. Alhamdulillah sampai saat ini, aku sehat wal afiat tanpa kurang satu apapun. Sampai saat ini keluarga adalah tempat terbaik untuk aku melepas ketakutanku akan keyakinan untuk bisa bersaing hidup nantinya di masyarakat. Mudah-mudahan Allah selalu memberikan perlindungannya kepada aku dan keluargaku dari mara bahaya, cobaan, dan godaan syetan yang terkutuk. Itu doa dan harapan pertama ku untuk usiaku kali ini.

Menginjak kepala dua ini, banyak hal yang harus aku perbaiki dan banyak hal yang harus aku selesaikan. Yang paling berubah dari diriku adalah, aku mulai takut untuk melihat dunia kedepan. Aku takut tak dapat bersaing di masyarakat. Aku takut apakah aku akan hidup normal. Pesimis ku kembali lagi. Itu kelemahanku, dan aku harus bongkar itu. Tapi aku bersyukur, setidaknya aku sadar, sehingga aku bisa cepat-cepat bergegas untuk berhijrah.

Hijrah, ya aku harus berhijrah. Bukan artinya aku pindah ke suatu tempat. Tapi diriku yang berhijrah. Kepalaku sudah dua. Sudah tua. Harusnya menurut umur aku sudah mulai mampu menghasilkan uang pribadi. Tapi nyatanya belum. Dua tahun lagi, harus siap masuk ke dunia kerja. aku harus menjadi lebih baik lagi. Mengasah diri dengan baik. Itu targetku satu tahun ke depan. Lebih baik di agama, perilaku, dan kemampuan akademik dan softskillsku. Mudah-mudahan target-target itu semua tercapai, Amin.

            Harapanku, semoga setahun kedepan aku dapat lebih baik lagi. Baik tutur kata dan perangai ku. Menjadi lebih dewasa, dapat membanggakan kedua orang tuaku, sehat aku dan keluargaku. Allah sampaikan umurku dan keluargaku ke tahun depan, Allah jaga kami, Allah lindungi kami, Allah pelihara kami, Allah mudahkan niat-niat baik kami, Allah buat kami ke arah yang lebih baik lagi. Allah kabulkan semua doa-doa ku. 


            Mungkin terkesan agak berantakan tulisanku ini, aku tulis ini di dalam kereta dan rumah ketika detak jantung jam hampir mendekati angka dua belas di tanggal 1 Maret 2014. Setidaknya sebagai tanda syukurku dan pengingatku akan banyaknya kekuranganku dan target serta harapanku setahun kedepan. Semoga Allah memperbolehkan aku menulis lebih banyak lagi refleksi diri untuk tahun-tahun berikutnya. 


            Selamat ulang tahun Fadhel, semoga menjadi lebih baik lagi, berguna untuk orang banyak. Hijrahlah ke arah yang lebih baik. Ingat, umurmu sudah menginjak kepala dua. Tidak ada waktu tuk bermain-main lagi. Agamamu menunggu untuk lebih dipelajari olehmu. Orang tuamu menunggu untuk dibahagiakan olehmu, Harapanmu tak harus muluk-muluk, walau berharap kau bisa menjadi orang yang berguna suatu hari kelak.

Salam,

Fadhel Maulana Ramadhan
20 Tahun